Translate

Rabu, 07 November 2012

perofil usaha sukses muda

Abdul Rahman Tukiman – Bocah gunung yang satu ini masa kecilnya dijalani dengan kemiskinan. Beruntung, dari usaha berdagang bakso malang ia kini mejadi pengusaha sukses. Masa kecilnya dilalui di suatu dusun kecil yaitu desa Sumurup, Kecamatan Bendungan, Trenggalek, Jawa timur. Desa itu boleh dibilang secara ekonomi kurang maju. Selain karena terpencil juga kondisi alam sekitarnya yang berbukit batu dan gersang sehingga kurang menguntungkan bagi pertanian. Namun ditengah serba tidak menyenangkan tersebut, menumbuhkan jiwa tangguh, tahan menderita, tidak mudah mengeluh dan tidak pernah mau menyerah dalam diri seoarang anak yang bernama Abdul Rahman Tukiman. Dilahirkan pada tanggal 4 April 1961 dari pasangan Bapak Saimun dan Ibu Paijem ini, masa kecil Abdul Rahman Tukiman bisa dibilang dilalui dengan cukup berat. Pasalnya, meski orang tuanya memiliki sawah ladang yang cukup luas namun sejak usia 9 tahun ia sudah menjadi anak yatim. Otomatis, sawah ladang yang luas itu pun menjadi semakin seperti tidak bertuan karena tidak ada yang mengelola. Sementara, kakak, adik dan ibunya masih tetap harus makan dan bertumpu pada hasil sawah ladang tersebut. Tidak ada jalan lain, akhirnya untuk menyambung hidup terpaksa petak demi petak sawah telah habis digadaikan. Akibatnya, kehidupan keluarga ini menjadi tidak menentu dan semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Namun kegetiran tersebut tidak lantas terus diratapi olah Cak Man begitu sapaan akrab Abdul Rahman Tukiman. Justru menjadi cambuk.
Seiring usianya beranjak ramaja, berbekal tekad yang kuat anak ke 5 dari 8 bersaudara ini kemudian terlecut hatinya untuk keluar dari kemiskinan dengan meninggalkan desa tercinta untuk mengadu nasib di kota. Waktu itu ia belum tahu mau pergi ke kota mana, apalagi uang saku yang dikumpulkan juga kurang. Dalam kondisi yang hampir putus asa, nasib baik pun datang. Tiba-tiba ada seorang pengusaha Bakso bernama Bapak Sumaji tengah mencari pemuda desa untuk diajak bekerja di Malang. Mendengar itu Cak Man tanpa pikir panjang pekerjaannya lantas menyambut tawaran tersebut. Berdagang Bakso Meski terasa berat meninggalkan Ibu dan keluarganya, langkah Cak Man tetap mantap untuk bekerja di Kota. Pertama menginjakkan kaki di Malang, semua pekerjaan dilakoninya. Mulai dari membantu memasak bakso, mencuci peralatan masak sampai menyiapkan bakso di rombong/gerobak-bakso yang akan dibawa juragannya berjualan keliling. Lama-lama pekerjaan itu membosankannya, akhirnya ia pun berniat untuk ikut jualan Bakso keliling juga. “Pertama kali jualan tahun 1980 ketika masih berusia 19 tahun senang banget rasanya,” kisahnya. Tidak diduga, hasil jualan baksonya ternyata laris manis. Alhasil, sejak saat itu berjualan bakso, menjadi hari-hari yang terasa indah baginya karena pendapatannya melebihi apa yang didapatkan ketika masih membantu mencari kayu di desa. Setelah melewati masa-masa susah dan senang berjualan bakso ditambah pengalaman ikut bersama 3 juragan, terpikir dalam hati Cak Man untuk berjualan sendiri. Karena setelah dihitung-hitung ternyata berjualan sendiri bakso sangat menguntungkan. Namun sekali lagi, semua terbentur modal. Waktu itu Cak Man tidak memiliki uang sama sekali untuk modal usaha. Baru pada 1984, bermodalkan hasil tabungannya selama 2 tahun sebesar Rp 77 ribu, Cak Man memberanikan diri membuka warung bakso. “Mulailah tahun itu saya berjualan bakso sendiri,” ujarnya. Prinsipnya pada waktu itu sederhana, “Seperti orang belajar silat,” katanya. Berbekal pengalaman bekerja pada 3 juragan bakso yang masing-masing memiliki jurus andalan, tentunya ia juga bisa uga memiliki jurus ampuh yang merupakan penggabungan dari ketiga jurus andalan 3 pendekar tersebut. “Dengan mengkombinasikan kelebihan dari 3 juragan tersebut, saya yakin bahwa bakso buatannya menjadi jauh lebih unggul dan digemari masyarakat,” imbuhnya lagi. Seperti halnya usaha-usaha lainnya, pada hari-hari pertama diwarnai ketidak-menentuan, hari ini ramai, hari berikutnya sepi. Menghadapi kondisi seperti ini, bukan malah menyurutkan hati Cak Man untuk berhenti berjualan tetapi makin menambah semangatnya untuk bagaimana membuat baksonya enak dimata pelanggan. Sukses pun diraih Kerja keras dan keuletannya membuahkan hasil. Warung baksonya setiap hari dibanjiri pelanggan. Cabang-cabang lain pun kemudian didirikannya.
Kesuksesan lambat laun diraihnya Cak Man. Sampai akhirnya ia memfranchisekan usahanya dan pada Februari 2007 mendirikan PT Kota Jaya, untuk mengurusi manajemen usaha baksonya agar lebih modern. Hebatnya lagi, kini setelah 23 tahun usaha baksonya berjalan, ia telah memiliki 57 buah gerai dan mampu menyerap ratusan tenaga kerja. Dengan asumsi setiap gerai mempekerjakan 16 karyawan (di luar pemilik gerai), maka dengan 60 gerai yang ada saat ini, wong ndeso Cak Man mampu menampung jumlah tenaga kerja sebanyak : 57 x 16 = 960 orang. Tidak hanya itu, kemana-mana ia kini sudah tidak lagi jalan kaki atau naik sepeda onthel. Ia sudah bisa naik mobil mewah lengkap dengan driver yang selalu siap mengantar kemana ia pergi. Rumahnya pun sangat besar terdiri dari dua lantai seluas 1000 m2. Istrinya adalah Hj. Mariyah Maryatun. Anak pertamanya, Andik Purwanto sedang menyelesaikan kuliahnya di FIA, Universitas Brawijaya, Malang. Anak kedua, Yuli Nur Avianti yang masih duduk di bangku SLTA, dan anak ketika Cantika Putri Rahmadani masih balita. Meski semua telah diraih, Cak Man tak lantas lupa dengan asal muasalnya yang wong ndeso dan katro. Ia masih rendah hati dan santun terhadap siapapun. Cak Man mengakui, selama merintis usaha banyak hal berkesan yang pernah dialaminya, terutama pada tahun 1990 – 2000. Contohnya, pada 1993 ia dari hasil jualan bakso ia berhasil membeli mobil bekas buatan tahun 1986. Namun karena rumahnya masih di dalam gang kecil, maka setiap malam ia terpaksa tidur di dalam mobil sambil menunggu mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Disamping itu, ia juga berhasil membuka gerai baru di Jl. Ciliwung, Jl. Mayjen Wiyono dan di beberapa tempat lain di kotamadya Malang. Dari sinilah akhirnya mendudukkan Cak Man dengan Bakso Kotanya sebagai pedagang bakso-malang papan atas yang memiliki gerai terbanyak. Tidak hanya itu, Cak Man kemudian juga mampu membeli rumah di Jl. Kedawung II/11. Rumah baru tersebut disamping sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat memasak dan penampungan para karyawannya. Meski berasal dari desa di lereng gunung, Cak Man memiliki visi kedepan yang sangat kuat. Cak Man berkeyakinan bahwa setiap orang harus punya cita-cita dan untuk menggapainya perlu usaha yang sungguh-sungguh dibarengi dengan kemauan belajar kepada siapapun. “Kunci saya membangun usaha hingga sebesar adalah senantiasa meningkatkan mutu dan layanan, membuat inovasi baru (semula hanya 6 varian saat ini sudah 22 varian), sering mengikuti kegiatan pelatihan, mematenkan merek dagang dan menerapkan manajemen modern,” ujarnya. Lebih dari itu yang tak kalah penting dan selalu dipegang teguh Cak Man adalah selalu berpikir untuk jangka panjang. “Dahulu kalau hanya berjualan bakso tradisional, saya tidak perlu melakukan macam-macam. Sekarang, tidak bisa diam begitu saja. Sekarang, Bakso Kota Cak Man sudah memposisikan diri sebagai salah satu resto cepat saji asli Indonesia yang berjuang untuk dapat bersaing dengan resto cepat saji mancanegara seperti KFC, McDonald, Hoka-hoka Bento dan lain sebagainya. Jadi, saya harus berbenah diri untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan,” terangnya.
sumber

Sandiaga Uno – Inspirasi Pengusaha Muda Indonesia

Mengawali karier sebagai karyawan, meraih puncak karier dalam waktu singkat, hingga diberhentikan dari pekerjaan nan mapan, mencipta arus balik hidup Sandiaga untuk menjadi pengusaha. Tahun 2008 ia dinobatkan menjadi ”Entrepreneur of The Year” dari Enterprise Asia untuk predikat pengusaha terbaik.
Pencapaian itu adalah buah dari pergulatan panjang. Namun, pria yang akrab disapa Sandi itu menyebut dirinya sebagai ”pengusaha kecelakaan”. Itu karena kiprahnya di dunia usaha dimulai tatkala kondisi karier dan keuangannya sedang terpuruk pada 1998.
Pria lulusan Wichita State University, Amerika Serikat, dengan predikat summa cumlaude itu mengawali karier sebagai karyawan Bank Summa pada 1990. Tahun 1991 ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di George Washington University, Amerika Serikat. Ia lulus dengan indeks prestasi kumulatif 4,00.
Kariernya terus melesat. Pada tahun 1994 ia bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai investment manager. Pada 1995 ia hijrah ke NTI Resources Ltd di Kanada dan menjabat Executive Vice President NTI Resources Ltd dengan penghasilan 8.000 dollar AS per bulan.
Namun, kariernya itu tak berlangsung lama. Krisis moneter sejak akhir 1997 menyebabkan perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Semua tabungan hasil jerih payahnya yang diinvestasikan ke pasar modal juga turut kandas akibat ambruknya bursa saham global.
Kembali ke Indonesia
Sandi kembali ke Indonesia dan menumpang di rumah orangtuanya, Henk Uno dan Mien R Uno, karena tidak mampu membayar sewa rumah. Situasi sulit ini sempat membuat ayah dua anak itu hampir putus asa.
Pergulatan batin dalam keterpurukan membuat Sandi berkeyakinan, menjadi karyawan membuat ia sulit memiliki kemandirian secara finansial. Pemikiran itu melandasi langkahnya untuk ”banting setir” dan menapaki dunia bisnis.
”Sebagai karyawan perusahaan, banyak hal dapat terjadi di luar kontrol kita. Apabila keadaan ekonomi memburuk, ada kemungkinan kita di-PHK (pemutusan hubungan kerja) meskipun kita memiliki prestasi di perusahaan itu,” tutur bungsu dari dua bersaudara itu.
Pada tahun 1997 ia mendirikan perusahaan penasihat keuangan, PT Recapital Advisors bersama teman SMA-nya, Rosan Perkasa Roeslani. Ia mempelajari seluk-beluk bisnis, antara lain dari William Soeryadjaya.
Pada 1998 Sandi dan Edwin Soeryadjaya, putra William, mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya. Bidang usaha yang digarap meliputi pertambangan, telekomunikasi, dan produk kehutanan.
Berbekal jejaring relasi dengan perusahaan serta lembaga keuangan dalam dan luar negeri, Sandi menjalankan bisnis itu. Usahanya menghimpun modal investor untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Kinerja perusahaan yang krisis itu lantas dibenahi dan dikembangkan. Setelah pulih, aset perusahaan dijual dengan nilai tinggi.
Ada 12 perusahaan yang sudah diambil alih. Beberapa perusahaan telah dijual, antara lain PT Dipasena Citra Darmaja, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan PT Astra Microtronics.
Pada tahun 2007 Sandi dinobatkan menjadi 122 orang terkaya di Indonesia versi majalah Asia Globe dengan total aset perusahaan mencapai 80 juta dollar AS. Pada 2008 ia dinobatkan menjadi orang terkaya ke-63 di Indonesia dengan total aset 245 juta dollar AS.
Sandi mengibaratkan dunia usaha seperti naik sepeda, yakni kerap jatuh-bangun. Hanya keberanian, optimisme dalam memandang masa depan yang membuka jalan untuk mendulang kesuksesan.
Baginya, jejaring relasi hanya menyumbang 30 persen dari kesuksesan. Unsur kesuksesan selebihnya bersumber dari kerja keras dan menjaga kepercayaan. Dengan semangat itu, usaha yang digelutinya kini memiliki total karyawan 10.000 orang.
”Hidup harus punya target. Tanpa target, pencapaian akan sulit,” tutur pria yang menjabat Ketua Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu.
Dorong UMKM
Di bidang keorganisasian, pria penggemar olahraga basket ini pernah menjabat Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) periode 2005-2008. Selama masa kepemimpinannya, jumlah pengusaha yang tergabung di Hipmi meningkat dari 25.000 orang menjadi 35.000 orang.
Di mata koleganya, Sandi merupakan sosok inspirator bagi pengusaha muda yang minim pengalaman. Ketua Umum BPP Hipmi 2008-2011 Erwin Aksa menuturkan, Sandi gigih menanamkan prinsip bahwa pengusaha harus punya mimpi dan bekerja sepenuh hati.
Sandi juga sibuk sebagai Ketua Komite Tetap Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Ia mempunyai obsesi meningkatkan jumlah pengusaha Indonesia dari 0,18 persen menjadi 5 persen dari total penduduk pada 2025.
Menurut ia, ada tiga masalah besar yang dihadapi pelaku UMKM saat ini, yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM), akses pasar, dan pendanaan. Keprihatinan terbesarnya adalah nasib pengusaha kaki lima yang sering mengalami penggusuran hingga sulit meningkatkan kualitas SDM.
UMKM selama ini dibiarkan tumbuh sendiri oleh pemerintah tanpa kebijakan yang berpihak. Namun, sektor itu mampu bertahan pada saat krisis dan menopang perekonomian negara selama sekitar 10 tahun. Belakangan, sektor UMKM menjadi pilar penciptaan lapangan kerja dengan kemampuan menyerap karyawan rata-rata 5-10 orang per unit usaha.
”Kebijakan yang diperlukan adalah memberi ruang bagi UMKM. Upaya menolong mereka bukan dengan menggusur, melainkan membuat pasar baru untuk berusaha dan membuka akses pasar,” kata Sandi.
Meski senang berkecimpung dalam organisasi, ia mengaku belum tertarik untuk menduduki jabatan politik. Sandi menolak anggapan bahwa kesuksesannya saat ini merupakan jalan meretas karier politik.
”Yang diperlukan bangsa saat ini adalah pengusaha,” katanya.
Sumber :
http://www.karir-up.com/

Mas Mono – Dari Office Boy Jadi Pengusaha

Tak gampang bagi Agus Pramono meraih sukses sebagai pemilik Ayam Bakar Mas Mono. Ia sempat berjualan kacang dari satu warung ke warung lain selama setahun. Lelaki asal Madiun ini juga pernah mencecap pekerjaan office boy dan penjual gorengan. Sampai akhirnya ia nekat berjualan ayam bakar tanpa bekal ilmu kuliner.
Lulus dari SMA di Kota Madiun, Jawa Timur, pada 1994, Agus Pramono merantau ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, Mono, panggilan akrab Agus Pramono, tinggal dengan kakak pertamanya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Saat itu, makan dan kebutuhan hidup lain ditanggung si kakak yang bekerja sebagai office boy.
Karena tak ingin membebani sang kakak, anak kelima dari enam bersaudara ini lantas mencari pekerjaan. “Saya jadi sales makanan ringan seperti kacang. Saya jual dari satu warung ke warung lain,” katanya. Pulang berdagang, Mono mengasuh anak kakaknya.
Setahun berjualan makanan, Mono mendapat tawaran kerja sebagai office boy (OB) di sebuah perusahaan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak punya pilihan lain, ia pun menerima tawaran itu. “Dalam hati saya malu sekali. Saya disekolahkan paling tinggi dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain, tapi kok ya jadi OB dengan gaji pas-pasan,” tuturnya.
Selama menjadi OB, Mono tak pulang kampung. Sebab, ia tak punya cukup uang untuk membeli tiket kereta. Bila banyak orang merayakan Lebaran di tengah keramaian, Mono malah sibuk mencari uang sebagai penjaga rumah orang yang sedang pergi berlibur.
Pernah ia tidak menjenguk ayahnya yang sakit lantaran tak punya tabungan. “Dari bapak saya sakit sampai meninggal di tahun 1998, saya tidak bisa ke Madiun. Itu tamparan keras buat saya,” katanya mengenang.
Tahun 2001 menjadi awal pijakan Mono merambah dunia usaha. Ia tinggalkan pekerjaannya sebagai OB dan beralih menjadi penjual gorengan. Dia berani berdagang walau tak punya keahlian apa pun tentang kuliner. “Saya cuma punya modal nekat,” ujarnya.
Di kamar sewaan berukuran 2,5 meter x 3 meter di Menteng Dalam, tempat tinggal Mono dan istrinya, bahan gorengan disiapkan. Bila bahan sudah siap, ia mendorong gerobak gorengan tiap pagi.
Mono berjualan keliling sekolah-sekolah dan kompleks perumahan. Jika azan maghrib telah berkumandang, ia dorong gerobak pulang dengan membawa Rp 15.000 di kantong. Terkadang, bila ramai pembeli, ia bisa bawa pulang Rp 20.000.
Sering, Mono menyembunyikan sisa gorengan yang tak laku dijual saat pulang ke kamar sewaan. “Sisa gorengan saya umpetin di bawah gerobak supaya tetangga tak melihat gorengan saya tak laku,” ungkap dia.
Mono sering berdagang gorengan di sekitar Universitas Sahid di Jalan Prof Dr Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan. Suatu hari, ketika ia tengah menunggu pembeli, Mono terpikir berdagang ayam bakar. “Saat itu, jarang sekali orang jual ayam bakar. Ditambah lagi masih ada lahan kosong di sekitar kampus Sahid,” ujarnya.
Yakin terjun ke usaha ayam bakar, Mono pun mencari modal. Akhirnya, ia mendapatkan modal Rp 500.000 untuk membeli bahan dan bumbu ayam bakar serta perlengkapan memasak.
Awalnya, Mono menyajikan ayam bakar, tempe, tahu, dan cah kangkung. Ketika itu, ia menjual seporsi nasi plus ayam bakar Rp 5.000. Rupanya banyak yang menyambangi gerobak Ayam Bakar Kalasan miliknya, baik mahasiswa, pegawai kantoran, dan orang yang lalu lalang di Jalan Soepomo.
Waktu itu, ia mengolah 80 ekor ayam per hari. Soal rasa, Mono belajar otodidak dari saran dan kritik para pelanggan. “Ada yang bilang pakai bumbu ini, pakai kecap itu, nasinya jangan nasi pera,” kata Mono. Ia pun mencoba menerima saran dan kritik pembelinya itu hingga benar-benar menemukan rasa khas Ayam Bakar Kalasan.

Melihat pengunjung yang makin banyak, Mono pun memperluas lokasi usaha. Dengan bantuan lima karyawan, ia mengubah konsep tempat makan, dengan menempatkan meja dan kursi berpayung terpal.
Pada tahun 2004, gerai ayam bakar Mono kena gusur. Ia pun memindahkan gerainya ke Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. “Waktu itu, Tebet sepi, tidak seramai sekarang. Belum banyak usaha makanan juga,” katanya.
Dari sinilah, Ayam Bakar Kalasan makin dikenal luas dan punya banyak penggemar. Mono pun membuka cabang di banyak tempat hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan.
Sumber :
http://bisniskeuangan.kompas.com/

Hendy Setiono – Kebab Turki Baba Rafi

atu lagi anak muda Surabaya menorehkan prestasi besar. Dia adalah Hendy Setiono, presiden direktur Kebab Turki Baba Rafi. Prestasinya tidak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga di mancanegara. Mengapa?
Wajah dan penampilannya masih layaknya anak muda. Siang itu, dia berkemeja batik cokelat dipadu celana hitam. Cukup sederhana. Tak tecermin tampang seorang bos dari perusahaan beromzet lebih dari Rp 1 miliar per bulan.
Itulah penampilan sehari-hari Hendy Setiono, Presdir Kebab Turki Baba Rafi Surabaya. Oleh majalah Tempo edisi akhir 2006, dia dinobatkan sebagai salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang dinilai mengubah Indonesia. Tentu, sebuah pengakuan yang membanggakan bagi Hendy. Apalagi, bisnis yang dia geluti tergolong bisnis yang tak akrab di telinga. Usianya pun masih 23 tahun! Wow, masih sangat muda untuk seorang bos yang memiliki 100 outlet di 16 kota di Indonesia.
Dengan ramah, pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983, tersebut mempersilakan Jawa Pos masuk ke kantornya di Ruko Manyar Garden Regency, kawasan Nginden Semolo. “Biasanya saya masuk kantor agak siang. Tapi, karena hari ini ada janji dengan Anda, saya agak meruput datang ke kantor,” ujar Hendy mengawali perbincangan.
Ketika itu, jarum jam sudah menunjuk pukul 11.00. Bagi Hendy, pukul 11.00 masih terbilang pagi karena biasanya dirinya baru masuk kantor lebih dari pukul 12.00.
Dia lalu menceritakan awal mula bisnis kebab yang digelutinya tersebut. Kebab adalah makanan khas Timur Tengah (Timteng) yang dibuat dari daging sapi panggang, diracik dengan sayuran segar, dan dibumbui mayonaise, lalu digulung dengan tortila. Sebenarnya, kebab banyak beredar di Qatar dan negara Timteng lainnya.
Namun, kata Hendy, kebab paling enak adalah dari Istambul, Turki. Karena itu, dia menggunakan “trade mark” Turki untuk menarik calon pelanggan.
Hendy mengisahkan, pada Mei 2003, dirinya mengunjungi ayahnya yang bertugas di perusahaan minyak di Qatar. Selama di negeri yang baru sukses melaksanakan Asian Games itu, dia banyak menemui kedai kebab yang dijubeli warga setempat. Lantaran penasaran, Hendy yang mengaku hobi makan itu lantas mencoba makanan yang lezat bila dimakan dalam kondisi masih panas tersebut. “Ternyata, rasanya sangat enak. Saya tak menduga rasanya seperti itu,” ungkap sulung dua bersaudara pasangan Ir H Bambang Sudiono dan Endah Setijowati tersebut.
Tak hanya perutnya kenyang, saat itu di benak Hendy langsung terbersit pikiran untuk membuka usaha kebab di Indonesia. Alasannya, selain belum banyak usaha semacam itu, di Indonesia terdapat warga keturunan Timteng yang menyebar di berbagai kota.
“Orang Indonesia juga banyak yang naik haji atau umrah. Biasanya, mereka pernah merasakan kebab di Makkah atau Madinah. Nah, mereka bisa bernostalgia makan kebab cukup di outlet saya,” jelasnya.
“Makanya, selama di Qatar, saya juga memanfaatkan waktu untuk berburu resep kebab. Saya mencarinya di kedai kebab yang paling ramai pengunjungnya,” jelas Hendy yang beristri Nilamsari, 23, dan kini sudah dikaruniai dua anak, Rafi Darmawan, 3, dan Reva Audrey Zahifa, 2, tersebut.
Begitu tiba kembali di Surabaya, dia langsung menyusun strategi bisnis. Yang pertama dilakukan adalah mencari partner. Dia tidak ingin usahanya asal-asalan. Dia kemudian bertemu Hasan Baraja, kawan bisnisnya yang kebetulan juga senang kuliner. Awalnya, mereka sengaja melakukan trial and error untuk menjajaki peluang bisnis serta pangsa pasarnya.
“Ternyata, resep kebab dari Qatar yang rasa kapulaga dan cengkehnya cukup kuat tidak begitu disukai konsumen. Ukurannya pun terlalu besar. Makanya, kami memodifikasi rasa dan ukuran yang pas supaya lebih familier dengan orang Indonesia,” katanya.
September 2003, gerobak jualan kebab pertamanya mulai beroperasi. Tepatnya di salah satu pojok Jalan Nginden Semolo, berdekatan dengan area kampus dan tempat tinggalnya.
Mengapa gerobak? Hendy mempunyai alasan. “Membuat gerobak lebih murah daripada membuat kedai permanen. Tidak perlu banyak modal. Gerobak pun fleksibel, bisa dipindah-pindah,” ujarnya.
Soal nama kedainya Baba Rafi, dia mengaku terinspirasi nama anak pertamanya, Rafi Darmawan. “Diberi nama Kebab Pak Hendy kok tidak komersial,” katanya lalu tergelak.
Saat itulah terlintas di benaknya nama si sulung, Rafi. “Kalau dipikir-pikir, pakai nama Baba Rafi, lucu juga rasanya. Baba kan berarti bapak, jadi Baba Rafi berarti bapaknya Rafi.”
Mengawali sebuah bisnis memang tidak mudah. Apalagi untuk meraih sukses seperti sekarang. Suka duka pun dirasakan calon bapak tiga anak itu. “Misalnya, uang berjualan dibawa lari karyawan. Banyak karyawan yang keluar masuk. Baru beberapa minggu bekerja sudah minta keluar,” ungkapnya.
Bahkan, pernah suatu hari, karena tak mempunyai karyawan, Hendy dan istri berjualan. Hari itu kebetulan hujan. Tak banyak orang membeli kebab. Makanya, pemasukan pun sedikit. “Uang hasil berjualan hari itu digunakan membeli makan di warung seafood saja tak cukup. Wah, itu pengalaman pahit yang selalu kami kenang,” ujarnya.
Tak ingin setengah-setengah dalam menjalankan bisnis, lulusan SMA Negeri 5 Surabaya tersebut akhirnya memutuskan berhenti dari bangku kuliah pada tahun kedua. “Saya OD alias out duluan. Tapi, saya tidak menyesal meninggalkan bangku kuliah untuk membangun usaha,” tegas Hendy yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Informatika ITS tersebut.
Keputusan dia untuk meninggalkan bangku kuliah guna menekuni bisnis kebab tersebut sempat ditentang orang tuanya. Mereka ingin Hendy menjadi orang kantoran seperti ayahnya. Karena itu, ketika dia meminta bantuan modal, orang tuanya menganggap bisnis yang akan dilakoni tersebut adalah proyek iseng. “Mereka pikir saya tidak serius pada bisnis itu. Dalam hati, saya ingin membuktikan kepada bapak dan ibu bahwa kelak saya pasti berhasil,” jelasnya.
Yang luar biasa, kesuksesan bisnis Hendy tak perlu waktu lama. Hanya dalam 3-4 tahun, dia berhasil mengembangkan sayap di mana-mana. Bahkan, hingga pengujung 2006, pengusaha muda tersebut mencatat telah memiliki 100 outlet Kebab Turki Baba Rafi yang tersebar di 16 kota di Indonesia. Tidak hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Ke depan, Hendy berencana mengembangkan usahanya itu ke luar negeri. Dua negara yang diincar adalah Malaysia dan Thailand. “TV BBC London dan majalah Business Week International pernah meliput usaha saya tersebut. Setelah itu, ada orang yang menawari saya membuka outlet di Trinidad & Tobago serta Kamboja,” jelasnya.
Sukses bisnis kebab waralaba Hendy itu juga menghasilkan berbagai award, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya, ISMBEA (Indonesian Small Medium Business Entrepreneur Award) 2006 yang diberikan menteri koperasi dan UKM. Hendy juga ditahbiskan sebagai ASIA’s Best Entrepreneur Under 25 oleh majalah Business Week International 2006. Untuk meraih award tersebut, dia bersaing dengan 20 kandidat pengusaha lain dari berbagai negara di Asia.
Pria kalem itu juga mendapatkan penghargaan Citra Pengusaha Berprestasi Indonesia Abad Ke-21 yang dianugerahkan Profesi Indonesia. Kemudian, penghargaan Enterprise 50 dari majalah SWA untuk 50 perusahaan yang berkembang dalam setahun terakhir. Serta, di pengujung 2006, majalah Tempo menobatkan Hendy menjadi salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang mengubah Indonesia.
Apa yang akan dilakukan Hendy selain mengembangkan usahanya ke mancanegara? Tampaknya, dia ingin seperti raja komputer, Bill Gates. “Saya belajar dari para pengusaha sukses. Salah satunya, Bill Gates. Dia bisa mendirikan kerajaan Microsoft, meski tidak tamat sekolah. Jadi, intinya, untuk menjadi orang sukses, tidak harus memiliki gelar akademis dan indeks prestasi (IP) tinggi,” tegasnya lalu tertawa.
Sumber :
Jawa Pos
http://sukses-biz.blogspot.com/

Merry Riana – Muda.. Fenomenal

Prestasi Merry Riana terbilang fenomenal. Di usia 25 tahun dan hanya 4 tahun dari kelulusannya, entrepreneur perempuan yang telah mengantongi banyak penghargaan ini mampu mengumpulkan kekayaan hingga 700 ribu dolar Singapura, sebuah jumlah yang fantastis.
Fakta yang paling membanggakan ialah bahwa Merry Riana berasal dari Indonesia. Ia lahir di tahun 1980 dan tumbuh di Jakarta dalam sebuah keluarga sederhana. Orangtua Merry adalah seorang pebisnis dan ibu rumah tangga. Dengan penuh keberanian, sulung dari 3 bersaudara ini tinggal di Singapura dan mengadu untung di sana. Karena dorongan sang ayah, Merry bercita-cita menjadi seorang insinyur. Cita-citanya tersebut mungkin karena ingin membantu sang ayah dalam menjalankan bisnis.
Awalnya Merry tidak pernah bertujuan untuk belajar di negeri jiran, Singapura. Akan tetapi seiring dengan terjadinya kekacauan multi dimensi tahun 1997-1998 di Indonesia dan Asia, ayah Merry memutuskan untuk mengirim anaknya belajar di luar negeri. Dan Singapura kala itu merupakan sebuah pilihan yang paling masuk akal karena jaraknya yang relatif dekat, lingkungan yang aman dan sistem pendidikannya yang bagus.
Merry mulai belajar di bangku kuliah di jurusan Electrical and Electronics Engineering (EEE) di Nanyang Technological University (NTU) pada tahun 1998. Merry mengaku jurusan ini menjadi jurusan paling masuk akal baginya saat itu.
Demi pendidikan, Merry harus menanggung utang sekitar 40 ribu dolar Singapura. Sembari belajar di NTU, Merry harus menabung untuk membayar pengeluaran sehari-hari dan biaya kuliah. Merry menyadari bahwa ia harus memikirkan masa depannya. Dengan kewajiban pelunasan pinjaman sebanyak itu saat lulus dari bangku kuliah, Merry mulai bekerja keras dan ingin mencapai kesuksesan di usia 30 tahun.
Tanpa pengalaman dan pengetahuan bisnis yang memadai, Merry terjun ke dalam dunia bisnis. Itu ia lakukan karena ia mengetahui bahwa memiliki pekerjaan biasa tidak cukup untuk memenuhi impiannya untuk sukses di usia 30 tahun. Ia mencoba berbagai peluang bisnis. Kemudian suatu saat Merry berinvestasi pada saham dengan mengandalkan uang tabungannya yang susah payah ia kumpulkan. Sayang, Merry kehilangan semua investasinya dan terpuruk. Meski begitu, Merry kembali bangkit dan berusaha keras untuk menjadi entrepreneur.

Merry mulai berusaha dari awal dengan belajar secara sungguh-sungguh tentang seluk beluk pasar. Setelah merasa siap, ia pun memutuskan untuk menekuni industri perencanaan keuangan. Merry berpikir itulah hal yang akan membuatnya mampu mewujudkan impiannya dalam waktu yang relatif singkat.
Saat Merry memulai karier sebagai seorang penasihat keuangan, ia harus bergulat dengan sejumlah tantangan dan hambatan. Orang tuanya, dosen serta teman-temannya kurang setuju dengan keputusan Merry tersebut. Merry saat itu belum memiliki kemampuan berbahasa Mandarin padahal lebih dari separuh penduduk Singapura ialah etnis China. Sebagai seorang pendatang asing di sana, pengalaman dan relasi Merry sangat terbatas.
Namun, satu alasan yang membuat Merry pantang menyerah ialah usianya yang masih muda dan masih lajang sehingga ia merasa lebih bebas dan lebih berani mengambil risiko. Tanpa merasa terlalu terbebani dengan kemungkinan gagal atau keharusan untuk berhasil, Merry lebih memilih untuk memfokuskan diri pada pengalaman dan pelajaran yang ia bisa dapatkan selama fase-fase awal kariernya.
Merry akhirnya menemukan panggilan jiwanya untuk bergabung dengan Prudential Assurance Company sebagai penasihat keuangan. Dalam enam bulan pertama karirnya di Prudential, Merry berhasil melunasi utangnya sebesar 40 ribu dolar Singapura.
Hingga tahun 2003, Merry dianugrahi Penghargaan Penasihat Baru Teratas yang diidam-idamkan banyak orang yang menekuni profesi penasihat keuangan. Di tahun 2004, prestasi Merry yang cemerlang membuatnya dipromosikan sebagai manajer.
Merry lalu memulai bisnisnya sendiri setelah diangkat menjadi manajer. Ia mendirikan MRO (Merry Riana Organization). Setahun setelah itu (2005), Merry menerima penghargaan sebagai penghargaan Top Agency of the Year dan penghargaan Top Rookie Agency.
Hingga kini Merry telah memotivasi dan melatih ribuan profesional dan eksekutif dalam bidang penjualan, motivasi dan pemasaran. Dalam perusahaannya, Merry menaungi 40 penasihat keuangan, yang uniknya memiliki usia yang masih belia (antara 21- 30 tahun).
Merry menyatakan bahwa motivasinya tidak hanya berasal dari keinginan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik pada kedua orangtuanya tetapi juga dari ambisinya untuk membantu generasi muda lainnya untuk melakukan hal serupa. Ia berharap para pemuda mampu memberikan kehidupan yang lebih baik, tak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga orang tua mereka dan anggota keluarga mereka yang lain.
Sumber :
http://www.ciputraentrepreneurship.com/

Agung Nugroho – Simply Fresh Laundry

Perjalanan Agung untuk memulai bisnis sejak masih mahasiswa telah membuktikannya. Setidaknya, sejak mahasiswa tingkat pertama, Agung yang kelahiran Lampung dan sejak sekolah menengah tingkat pertama sudah merantau ke Yogyakarta ini,telah mencoba memulai berbagai usaha, mulai dari usaha distro,- hingga membuka gerai jual beli handphone. Namun dua usaha yang sudah dijalani ini tidak berkembang seperti yang diharapkan. Persaingan yang ketat,- dan juga menjamurnya bisnis serupa membuat Agung  kelelahan mengelola usahanya.
Tahun 2006 saat bisnis laundry kiloan menjamur di Yogyakarta, Agung mencoba bisnis laundry kiloan, Simply Fresh Laundry. Dipilihnya bisnis laundry kiloan, karena bisnis jasa ini relatif mudah mengelolanya, tidak memerlukan modal yang besar, dan memiliki pangsa pasar yang besar.  Tenaga kerja yang diperlukan juga tidak perlu pendidikan yang tinggi.
Saat itu, sudah jamak jika di Yogyakarta para mahasiswa, bahkan masyarakat umum  lebih memilih mencuci pakaiannya di laundry kiloan daripada mencuci sendiri. Perubahan gaya hidup masyarakat yang memilih mendatangi laundry kiloan daripada mencuci pakaian sendiri adalah sebuah prospek bisnis yang sangat menjanjikan. Belum lagi pasar yang lain, seperti rumah sakit, hotel, spa, restoran, hingga pemilik club olah raga, dan lainnya.
Bisnis dari Modal Kecil Berapa modal yang diperlukan untuk mendirikan bisnis ini? Tidak banyak, untuk membuat usaha laundry kiloan,  Agung hanya memerlukan 1 mesin cuci, 1 mesin pengering, dan sewa tempat usaha di lokasi yang strategis.
Modal yang diperlukan saat itu kira-kira mencapai Rp30jutaan. Modal ini ia peroleh dari pinjaman kredit dengan menggadaikan BPKB motor miliknya,sebagian pinjaman dari orangtua, pinjam ke teman, dan sebagian dari sisa modal usaha sebelumnya.
Dengan tekad yang kuat Agung mengelola usaha laundry ini. Dan seperti yang diproyeksikan sebelumnya bahwa gerai jasa laundry miliknya ini diminati banyak pelanggan, sehingga dalam waktu hanya satu bulan saja, outlet Simply fresh Laundry miliknya merupakan outlet laundry kiloan paling ramai di Yogyakarta, meskipun di jalan yang sama terdapat 5 gerai laundry kiloan dengan merek berbeda.
Salah satu kunci untuk memperoleh pelanggan banyak, lanjut Agung adalah dengan selalu melakukan inovasi-inovasi dalam mengembangkan usahanya, diantaranya gerai laundry nya hanya menggunakan  deterjen ramah lingkungan (limbah deterjen yang dapat menyuburkan tanaman), menggunakan teknologi ultra violet (air yang digunakan bebas bakteri), memberikan garansi produk, menggunakan alat pengepak press plastik, memberikan pelayanan delivery service kepada pelanggan serta memiliki jaringan keagenan yang merata di lingkungan pelanggan.
Bahkan di beberapa tempat tertentu gerainya juga menempatkan pelayanan ‘drive thru’ dan buka 24 jam. Selain itu, Simply Fresh Laundry juga memberikan pelayanan cuci kilat hanya 4 jam sudah jadi, mencuci berdasarkan washing care label tips, membuat membership khusus, komputerisasi dengan sofware khusus, menggunakan barcode scanner, packaging ekslusif dan,   pelayanan yang ramah. Selain itu, ia juga menyediakan tujuh pilihan aroma pewangi pakaian sehingga konsumen dapat memilih jenis pewangi yang diinginkan. Bahkan harganyapun sangat bersaing, hanya Rp2500/kg.
Langkah pemasaran dengan menggandeng media, menjadi sponsor event, menciptakan personal branding dengan wawancara di berbagai media cetak maupun elektronik, menyebar brosur di sasaran tertentu, memasang balon udara di atas outlet hingga memberikan hadiah dan bonus, voucher bagi pelanggan loyal, serta mengembangkan sistem keagenan dengan menggandeng minimarket, warnet, gerai handphone dengan sistem bagi hasil merupakan strategi pemasaran yang membuat Simply Fresh Laundry terus berkembang hingga kini. Pertaruhan Untuk Menjadi Wirausahawan
Usai lulus kuliah dari Fakultas Hukum UGM tahun 2007, Agung menghadapi sebuah dilema. Sisi lain ia ingin menjadi pebisnis, tetapi kedua orangtuanya menginginkan ia menjadi karyawan disebuah instansi bonafid.
“Orangtua saya melarang saya melanjutkan bisnis laundry kiloan, padahal saya sudah memiliki 3 gerai laundry dan sedang ramai-ramainya,” ujar Agung yang ayahnya berprofesi sebagai pengacara hukum, sedangkan kakak laki-lakinya berprofesi sebagai jaksa, dan kakak perempuannya adalah seorang dokter.
Hanya karena ingin menyenangkan kedua orangtuanya, Agung mencoba mengikuti tes penerimaan pegawai Bank Indonesia di Yogyakarta yang disarankan ayahnya. Ia lulus berbagai tes tertulis dan wawancara, dengan menyisihkan 8000 kandidat calon lainnya. Ketika itu, hanya tinggal satu langkah untuk menjadi pegawai Bank Indonesia yang banyak diidam-idamkan oleh lulusan baru, yaitu wawancara di Jakarta.
Di tengah kegalauan untuk meneruskan usahanya, Agung meyakinkan kedua orangtuanya bahwa ia ingin menjadi pewirausaha. Ia memohon tidak melanjutkan mengikuti tes tahap wawancara ke Jakarta untuk masuk menjadi pegawai Bank Indonesia, karena ingin melanjutkan usahanya, dan mohon diberi waktu satu tahun untuk membuktikan usaha yang dirintisnya.
“Saat itu saya berjanji, jika dalam waktu satu tahun tidak berhasil, saya siap bekerja dimanapun,” cetusnya .
Mengembangkan Bisnis
Perjalanan baru telah ia putuskan. Setelah melihat gerai laundry kiloannya tumbuh dan berkembang, Agung memutuskan untuk meminjam modal dari bank untuk mengembangkan usahanya.  Modal ini digunakan untuk menciptakan sistem dan meningkatkan performa usahanya.
Di saat yang sama, ketika usahanya telah memiliki sistem yang kuat, Agung mengembangkan dan membiakkan Simply Fresh Laundry dengan cara waralaba. Akhir tahun 2007, gerainya sudah mencapai 18 outlet dengan 87 agen, tahun 2008 gerainya meningkat menjadi 42 outlet dengan 125 agen, dan akhir tahun 2009 outletnya telah mencapai lebih dari 110 outlet dengan 203 agen yang tersebar di kota-kota Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua,  dengan omzet mencapai Rp3 miliar per bulan.
Dihadapan dewan juri Wirausaha Mandiri di Jakarta, Agung memaparkan prospek bisnisnya yang akan merambah ke berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Australia dan bahkan ke Timur Tengah.
Proyeksi outlet, yang dikembangkan melalui sistem waralaba juga tak tanggung-tanggung, mencapai 285 outlet pada tahun 2010, meningkat menjadi 525 outlet di tahun 2011, dan mencapai 850 outlet di tahun 2012, dan diharapkan pada tahun 2013 outlet Simply Fresh Laundry telah memiliki 1200 outlet, dengan kebutuhan sumber daya manusia mencapai ribuan lapangan kerja.
Langkah yang dilakukan untuk mencapai proyeksi tersebut dilakukan dengan menciptakan inovasi mesin cuci sendiri yang mampu menyelesaikan pekerjaan cuci hanya dalam waktu 10 menit saja.
Selain itu, inovasi mesin cuci yang akan dibuat sendiri nantinya mampu menekan biaya franchise sehingga semakin banyak orang yang tertarik membuka bisnis laundry kiloan dalam  jaringan bisnis waralaba Simply Fresh Laundry dibawah bendera perusahaan PT.Sushantco Indonesia.
“Saya memiliki misi menjadikan produk Indonesia bisa merambah ke pasar dunia seperti layaknya jaringan waralaba Starbucks ataupun Mc Donalds,” cetusnya.
Sumber :
http://wirausahamandiri.co.id/
http://agung-nugroho-susanto.blogspot.com

Tririan Arianto (Rian) – Mashroom Factory

Kini, orang-orang Surabaya memiliki kudapan favorit baru, yaitu jamur berbumbu berbalur tepung yang digoreng garing, lengkap dengan sambal dan mayones sebagai pelengkap. Kudapan ini hasil kreasi Tririan Arianto melalui Mushroom Factory miliknya.
Tririan Arianto adalah seorang insinyur telekomunikasi. Namun, ternyata rezekinya justru mengalir deras dari usaha kudapan jamur bermerek Mushroom Factory. Kini, kudapan jamur produksinya sangat digemari, khususnya di Surabaya, tempat kelahirannya.
Tak heran jika saban bulan ia mampu meraup omzet antara Rp 80 juta hingga Rp 100 juta. Ia juga masuk dalam daftar finalis ajang Wirausaha Muda Mandiri yang digelar Bank Mandiri 2009 lalu.
Boleh dibilang, pria yang akrab dipanggil Rian ini memulai usahanya dengan kenekatan. Ia mulai membuka gerai pertamanya September 2008.

Menu Mashroom Factory
Waktu itu, ia menyewa sebuah tempat di mal Tunjungan Plaza. Ternyata kenekatannya berbuah hasil menggembirakan. Para pengunjung mal yang berbuka puasa langsung mengerumuni gerai tersebut.
Awalnya, para pengunjung tadi hanya penasaran. Tapi lama kelamaan, mereka ketagihan. Apalagi waktu itu harga kudapan jamurnya hanya Rp 7.000 per porsi.
Tiga bulan kemudian, ia pun membuka gerai di Royal Plaza Surabaya. Lalu berturut-turut ia menambah sehingga ia memiliki empat gerai. Akhirnya, banyak yang jadi pelanggan. Bahkan, banyak dari mereka yang meminta menjadi mitra waralabanya.
Padahal, Rian mengaku belum mengerti sistem waralaba. Ia hanya tahu bahwa sistem tersebut telah sukses. Misalnya saja, waralaba Kebab Baba Rafi dengan kudapan ala Timur Tengah-nya. Karena itu, Rian menawarkan konsep kemitraan dengan bagi hasil 70:30. Dengan sistem ini, ia berhasil menggandeng enam mitra.
Tapi, mulai November 2009, Rian mulai menawarkan sistem waralaba Mushroom Factory. “Menggunakan sistem waralaba akan mempercepat pertumbuhan bisnis ini,” dalihnya. Rian berencana, mulai gerai ke sebelas, ia tidak akan campur tangan di pengelolaan bisnis gerai mitranya. Ia hanya akan berperan sebatas pemasok bahan baku serta menjalankan promosi.
Sejauh ini, semua gerai Mushroom Factory baru beroperasi di Surabaya dan sekitarnya. Tapi, kata Rian, bukan berarti tidak ada yang berniat membuka di kota lain, seperti Jakarta.
Cuma, menurut Rian, kendala membuka gerai di Jakarta adalah mahalnya sewa tempat di mal. “Di Surabaya, Rp 7 juta sudah mendapat tempat premium, di Jakarta uang segitu hanya mendapatkan tempat biasa,” keluhnya.
Padahal, Rian mengatakan, lokasi gerai adalah hal penting agar produknya diingat sebagai camilan premium. Beratnya biaya sewa inilah yang mengakibatkan beberapa peminat mengurungkan niatnya membuka gerai Mushroom Factory di Jakarta.
Lantaran tak ingin menawarkan waralaba yang merugi, Rian tengah menghitung ulang untuk menemukan model bisnis yang tepat. Jadi, usahanya nanti bisa menembus pasar Jakarta. Untuk memasarkan waralabanya, Rian memanfaatkan peran teknologi. Ia sadar betul akan kekuatan dunia maya dalam membantu mempromosikan waralabanya. “Saya rajin memasarkan produk ini melalui Facebook, milis, dan website,” katanya. Kebetulan, sebagai sarjana teknik jurusan telekomunikasi, Rian sangat paham tentang seluk-beluk dunia maya.
Sejak kecil Tririan bercita-cita jadi pengusaha
Ketika masih sekolah, pria dengan sapaan akrab Rian ini kerap tergiur saat mendengar kisah sukses pengusaha. Selain tajir, jam kerja pengusaha lebih bebas.
Rian muda dengan mantap memasang cita-cita sebagai pengusaha. Padahal, dia lahir dari keluarga berlatar belakang pegawai negeri sipil. Ibu Rian berprofesi sebagai guru dan ayahnya bekerja di rumah sakit. “Tapi, rencananya saya baru jadi pengusaha setelah 30 tahun bekerja,” kata Rian, mengenang.
Rian lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 5 Oktober 1983. Dia mengenyam pendidikan dasar hingga atas di Sidoarjo. Hingga SMP, Rian mengaku tidak terlalu aktif mengikuti kegiatan di luar sekolah.
Baru pada saat SMA dia mulai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ketika kuliah di Sekolah Tinggi Telekomunikasi Telkom, Rian benar-benar aktif melakukan berbagai kegiatan. Dengan pintar, dia membagi waktu untuk kuliah dan aktif di berbagai organisasi kampus, hingga menjadi asisten dosen.
Selesai kuliah, Rian hijrah ke Jakarta. Dia bekerja di sebuah vendor telekomunikasi. Baru beberapa bulan bekerja, Rian mendapat tugas membangun sistem 3G di Surabaya selama enam bulan.
Setelah itu, Rian mendapat pekerjaan baru di operator telekomunikasi dan bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia menjadi wakil manajemen di sana. Sekitar empat bulan kemudian, perusahaan memintanya pindah ke Jakarta. “Tapi saya tolak karena sebenarnya kurang suka dengan kondisi Jakarta,” kata Rian.
Lalu, Rian bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Bekerja di luar negeri memang salah satu hasrat Rian yang terpendam. Kebetulan, tawaran itu datang dan dia nekat mengiyakan saja, walau hanya bermodal penguasaan bahasa Inggris dan Arab yang pas-pasan.
Bersama dua orang temannya, Rian berangkat ke Arab Saudi. Baru tiga bulan bekerja, ada salah satu temannya yang merasa kurang cocok dan ingin pulang. Dengan alasan solidaritas, ketiganya kembali ke Indonesia.
Baru ketika di Indonesia, Rian mulai berpikir memulai wirausaha. Apalagi setelah mencicipi gaji bermata uang asing, dia kesulitan menemukan pekerjaan dengan gaji yang setara. Bermodal tabungan selama bekerja, pria yang hobi membaca ini mencari peluang bisnis.
Ketika tiba di Surabaya, Rian bertemu dengan salah seorang temannya yang biasa berjualan jamur di pasar. Sang teman menceritakan ia kerapkali harus menderita rugi apabila jamur segar dagangannya tidak laku. Umur efektif jamur segar yang layak konsumsi memang hanya dua hari.
Kebetulan, Rian sempat memodali usaha pengolahan jamur salah seorang temannya di Bandung. Meski usaha keripik jamur tidak berhasil, rupanya Rian cukup terkesan dan menjadi inspirasi untuk memulai usaha baru olahan jamur di Surabaya.
Saat itu, di Surabaya sedang tren kudapan kentang berbumbu. Rian lantas terpikir untuk mengadaptasi kudapan itu dalam bentuk jamur. Dia lalu menawarkan konsep itu kepada temannya.
Sang teman sepakat. Keduanya mencoba-coba resep dan melakukan uji coba kepada teman-teman dekat hingga akhirnya menemukan racikan yang tepat. Dua orang ini lantas patungan dan terkumpullah duit sebesar Rp 35 juta.
Modal patungan tersebut untuk membeli aneka peralatan masak lengkap, bahan baku, serta sewa stan di Tunjungan Plaza, Surabaya. Dan, lahirlah produk utama Mushroom Factory, yaitu jamur yang berbalut tepung yang digoreng kering.
Rian menyajikan jamur ini dalam kemasan premium. Ada dua pilihan rasa, yakni original dan tasty. Rasa original mengandalkan saus sambal dan mayonaise.
Sedangkan rasa tasty memakai keju, bumbu barbeque, dan sambal tabur. Dalam perkembangannya, Mushroom Factory juga menambah produk-produk lain, seperti brokoli, bawang bombay, dan jamur enoki impor, dalam produknya.
Untuk mengamankan pasokan jamur, Rian menjalin kerjasama dengan puluhan petani jamur di Surabaya.
Wirausaha itu seperti berenang
Mushroom Factory resmi beroperasi sejak September 2008 dan dalam waktu yang cukup singkat, bisnis ini menghasilkan duit yang cukup besar bagi Rian. Kenyataan ini membuat Rian melupakan niat awalnya berbisnis untuk sekadar rehat sebelum mencari pekerjaan baru.
Rian mengaku tak berminat lagi menjadi karyawan, walau keputusan ini menimbulkan sedikit masalah. Orang tuanya sulit menerima kenyataan anaknya bukan pegawai. Mereka selalu menyuruh Rian mencari pekerjaan baru.
Untuk menjaga hubungan dengan orang tua, Rian pura-pura bekerja sebagai pegawai kantoran. Dia melakukan sedikit kamuflase dengan cara berangkat pagi dan pulang agak malam, layaknya seorang karyawan kantoran.
Padahal, sepanjang hari Rian mengurusi gerai Mushroom Factory. Sesekali, dia melayani langsung konsumen sambil mengobrol untuk mengetahui pendapat mereka mengenai produknya.
Setelah beberapa bulan berjalan dan hasil usahanya terlihat, Rian akhirnya memberitahukan orang tuanya mengenai statusnya sebagai pengusaha. Butuh waktu setahun untuk meyakinkan orangtua bahwa bisnis ini bisa menghidupinya. “Apalagi setelah bisnis saya masuk koran dan televisi,” kata Rian.
Sebenarnya, penolakan dari orangtua ini bukan hambatan utama Rian. Dia mengaku sempat mengalami kesulitan mengubah pola pikir dari seorang pegawai menjadi pengusaha.
Rian nekat untuk melakukan pekerjaan baru ini. Pria yang hobi meriset ini membuat analogi dunia wirausaha seperti berenang. Hanya dengan belajar teori saja tidak cukup. Orang harus melakukan kegiatan ini untuk bisa menguasainya.
Dia mengakui, banyak orang yang telanjur berpandangan bahwa menjadi pengusaha itu sulit dan penghasilannya tidak pasti. Namun bila seseorang berhasil mengubah pola pikir ini, mereka akan lebih mudah mengumpulkan keberanian menjadi pengusaha.
Kesulitan finansial juga sempat menghampiri Rian kala membuka outlet pertama. Duit hasil patungan ternyata tidak cukup. Lagi-lagi Rian nekat. Kali ini dia memakai dulu alokasi duit untuk membiayai pernikahan. Untungnya, dia bisa mengembalikan duit itu dari bisnisnya dan pernikahannya berlangsung sesuai rencana.
Usaha itu berkembang semakin pesat. Rian berencana membuka restoran jamur. Dia sudah memiliki beberapa masakan yang sudah siap masuk daftar menu. Nantinya, Rian bercita-cita, produk olahan jamur, seperti sosis dan nugget jamur, bisa menjadi oleh-oleh khas Surabaya.
Rian juga melebarkan sayap usaha dengan menjadi produsen dan distributor keripik jamur bernama Tiramizzu. Sambutan konsumen cukup baik. Pada bulan pertama usahanya, Rian mengirimkan hampir 1.000 kemasan keripik jamur kreasinya ke seluruh Indonesia. Kini Rian tengah menyiapkan website untuk mempromosikan keripik berharga jual Rp 12.000 per kemasan itu.
Selain menjadi pengusaha jamur, Rian juga menjadi agen sandal, berinvestasi di dunia telekomunikasi, dan sekaligus memiliki waralaba enam outlet teh poci. Selain itu Rian bercita-cita menyulap sebidang tanah dekat rumahnya menjadi sebuah pesantren wirausaha.
Rian mengaku betah menjadi pengusaha, meski hingga kini masih banyak tawaran yang datang kepadanya untuk menjadi karyawan telekomunikasi di luar negeri dengan gaji besar. Penghasilan bulanannya sebagai pengusaha sudah bisa mengalahkan gajinya sebagai pegawai perusahaan telekomunikasi di Indonesia dulu. Rian memasang target untuk bisa meraup pendapatan lebih besar daripada bekerja di luar negeri.
Kini Rian mengaku bisa menjalani hidupnya dengan lebih santai. Dia hanya ke kantor kalau ada keperluan. Bila tidak, dia lebih suka menghabiskan waktu untuk mempromosikan bisnisnya melalui dunia maya.
Untuk info lebih lanjut mengenai Mashroom Factory, teman-teman bisa kunjungi website-nya. Semoga menginspirasi ^_^
Sumber :
http://peluangusaha.kontan.co.id/

Saptuari Sugiharto – Kedai Digital

Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur. Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007.
Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada 2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo atau bergambar para selebriti. “Heran. Kenapa orang-orang begitu bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,” katanya. “Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai dengan kemauannya.”
Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual motor, dan menggadaikan rumah keluarga.
Butuh waktu enam bulan bagi lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing. Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung. Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.
Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer yang memiliki latar belakang pendidikan formal.
Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar.
Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba.
Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial.
Soal yang terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi owner,” katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.
Untuk  tahu lebih banyak mengenai Kedai Digital, teman-teman bisa klik di sini, atau follow @saptuari untuk lebih banyak mendapatkan ilmu dan inspirasi dari beliau ^_^
Sumber :
http://www.purdiechandra.net\

Muhammad Asmui – Javapuccino

Sebelum menjadi pengusaha muda sukses yang mengelola lebih dari 350 mitra melalui Javapuccino, Muhhamad Asmui pernah menjadi guru privat sambil berjualan pulsa serta kerupuk. Dia pun masuk ke bisnis kuliner. Usaha kuliner pertamanya itu pun hanya bertahan tiga bulan. Tapi dia tak berputus asa.
Asmui kecil terbiasa berjualan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Maklum, ia hanyalah seorang anak petani yang hanya mampu memberinya makan dan sekolah. Sejak berusia sembilan tahun, Asmui sudah membuat batu bata yang dia jual ke tukang bangunan di Salatiga untuk membantu kehidupan orang tuanya.
Meski termasuk anak yang beruntung karena dapat mencicip bangku pendidikan hingga kuliah berkat bantuan orang tua asuh, Asmui terus berpikir memiliki usaha sendiri. “Niat itu muncul ketika saya tengah kuliah di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) di Salatiga,” kenang Asmi, panggilan karib Asmui.
Saat itu, Asmi yang tengah menempuh pendidikan menjadi seorang guru berpikir jauh ke depan. Kehidupannya tidak akan maju jika hanya mengandalkan upah mengajar. Makanya, ia tertarik mempelajari ilmu ekonomi dan bisnis. “Harapan suatu saat menjadi seorang pebisnis,” ujarnya.
Meski kuliahnya masih di tengah jalan, Asmi ijrah ke Jakarta demi mengejar ilmu ekonomi di UIN pada tahun 2005. Langkah ini sempat ditentang orang tuanya lantaran khawatir soal biaya hidup yang tinggi di Jakarta.
Asmi tetap nekat pindah ke Ibu Kota dan menghidupi dirinya sendiri. Sembari kuliah, ia berjualan pulsa dan memberikan les ke siswa sekolah di kawasan Bintaro, Pondok Indah, dan Ciputat.
Asmi bertekad tak hanya memperoleh gelar sarjana tapi juga sukses membangun usaha. Maka, di tahun 2006, Asmi berjualan kerupuk ke warung makan.
Agar banyak warung makan mau menjual kerupuk bikinannya, ia terlebih dulu makan di warung-warung tersebut sepulang mengajar. “Saya makan dulu, baru menawarkan kerupuk,” ujar pemuda yang baru lulus UIN tahun 2010 ini.
Strategi itu terbilang ampuh. Setiap dua hari sekali, ia memasok kerupuk ke 100 warung yang beroperasi di sepanjang jalan Ciputat hingga Blok M. Uang yang dia dapat dari hasil mengajar dan berjualan kerupuk menjadi modal mendirikan usaha lain di bidang kuliner.
Setelah dua tahun berbisnis kerupuk, Asmi membangun usaha kuliner. Pilihannya jatuh pada usaha minuman teh lantaran marginnya yang besar.
Modal pertama yang ia keluarkan Rp 3 juta untuk membuat gerobak, sewa tempat, dan membeli bahan baku. Ia dibantu adik dan kakaknya meracik teh dan melayani pembeli di kampusnya, UIN Ciputat. “Pertama kali buka, animonya tinggi karena terbantu situasi kampus yang ramai,” ujarnya.
Namun, nyatanya usaha tersebut hanya bertahan tiga bulan lantaran terganjal brand yang Asmui pakai, yakni Joss Tea. “Sudah ada yang punya, jadi usaha ini kami tutup,” ujarnya.
Belajar dari kegagalan itu, Asmi membangun kembali usaha kulinernya. Di tahun yang sama, ia meluncurkan produk minuman kopi blanded yang saat itu tengah menjadi tren. Asmi langsung mendaftarkan mempatenkannya nama produknya, Javapuccino.
Ia yakin, langkah ini adalah awal yang benar yakni mendesain dan mematenkan produk agar bisa memenangkan persaingan. “Langkah selanjutnya baru promosi,” ujar Asmi yang mempromosikan Javapuccinonya pertama kali di internet.
Urusan paten kelar, Asmi kemudian fokus pada kualitas rasa produk es kopi blandednya. Seorang diri, ia terjun meracik kopinya. Agar menemukan racikan yang pas, Asmi sempat belajar kepada barista. Kini, lebih dari 30 rasa minuman telah tercipta dari dapur Javapuccino, termasuk kopi, teh dan yogurt aneka rasa.
Asmi mengaku telah menemukan citra rasa produknya, yakni menonjolkan kopi bercita rasa lokal dengan aneka topping. Ia juga terus berinovasi demi memenangkan persaingan serta wujud pelayanan bagi pelanggannya.
Kerja keras, mau belajar dan tak pantang menyerah telah mengantarkan anak petani ini sukses dalam berwirausaha. Melalui jaringan Javapuccino, di sepanjang tahun 2010 Asmi meraup keuntungan bersih Rp 946 juta. Keuntungan ini meningkat pesat dibanding tahun 2009 yang cuma Rp 105 juta per tahun. (Sumber : http://peluangusaha.kontan.co.id)

Elang Gumilang – Mahasiswa Pengembang Rumah Murah

Ia seorang pengusaha. Tapi Selasa dua pekan lalu, di dalam Toyota Rush berwarna silver yang tengah meluncur di Jalan Dramaga, Kabupaten Bogor, ia bukan cuma pengusaha.Duduk di belakang sopir yang membawanya ke proyek Griya PGRI di Ciampea, 20 kilometer dari pusat Kota Hujan, ia tampak serius membaca. Ia mempersiapkan diri menghadapi sidang skripsi esok hari, tanpa meninggalkan kegiatan sebagai pengusaha. Ia, Elang Gumilang, 24 tahun, mahasiswa sekaligus direktur utama sebuah pengembang perumahan. Dan itu sebuah usaha dengan prestasi mengesankan: berhasil membangun lebih dari seribu rumah sederhana di empat proyek perumahan di Kabupaten Bogor. Bermodal awal Rp 300-an juta, kini nilai proyek Elang Group terbang menembus Rp 17 miliar.Elang, sulung dari tiga bersaudara, tidak pernah menyumpal bakat bisnis dan keuletan yang diturunkan- ayahnya, H Misbah-kini 58 tahun, yang punya usaha kontraktor kecil-kecilan. Saat belajar di Sekolah Mene-ngah Atas Negeri 1 Bogor, Elang sudah berbisnis: menjual donat. Kegiatan ini baru berhenti ketika orang tuanya melarang.Tapi Elang, dengan bakat dan kecerdasannya, terus mencari uang, kali ini dengan mengikuti aneka lomba. Elang pernah muncul sebagai juara ketiga Marketing Games Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia di Universitas Trisakti. Ia juga juara pertama kompetisi Ekonomi SMA Se-Jabodetabek 2003 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan juara pertama Economic Contest di Institut Pertanian Bogor, tahun yang sama. Uang Rp 10 juta terkumpul. Elang mendapat “tiket gratis” masuk Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.Di IPB, jiwa bisnisnya berkembang lebih mekar. Pada tahun pertama, Elang menjual sepatu. Berbekal katalog, ia menawarkan sepatu dari satu asrama ke asrama mahasiswa di Kampus Biru itu. Ia juga pernah menjual lampu. Minyak goreng adalah dagangannya selanjutnya. “Saya sempat diajak,” kata Roni Jayawinangun, sahabat Elang.Memasuki tahun ketiga, Elang dan 12 kawannya membuka kursus bahasa Inggris, English Avenue, di kampusnya dengan modal Rp 21 juta. Elang menjadi direkturnya. Sambil mengisi waktu luang, dia menyambi menjadi tenaga pemasaran salah satu perusahaan properti di Bogor. Tak ada gaji, hanya mendapat komisi jika berhasil menjual rumah. Berbekal pengalaman menjadi salesman pengembang, Elang nekat berbisnis sendiri. Pada 2005, penggemar traveling itu mencoba ikut tender rehabilitasi sekolah dasar di Jakarta. Nasib baik. Proyek senilai Rp 160 juta digenggamnya. Ia makin percaya diri menggeluti dunia properti. Pada 2006, di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dia mengubah akta perusahaan yang hampir tutup menjadi Elang Group. Tanah nganggur milik sebuah instansi di Cinangneng, Kabupaten Bogor, diliriknya. Sayang, modalnya cekak. Bank juga enggan mendanainya. Tak menyerah, Elang mengajak lima kawannya dan terkumpul duit Rp 340 juta.
Lantas dia membujuk Bank Ta-bungan Negara (BTN) bekerja sama menyediakan kredit pemilikan rumah sederhana bersubsidi (KPRS) bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta. Deal, BTN setuju. Pada 2007, Elang Group menjual rumah murah. Harganya mulai Rp 25 juta (tipe 21/60) berbunga 4,5 persen per tahun dan maksimal Rp 55 juta (tipe 36/72) berbunga 7,5 persen per tahun. Cicilannya Rp 25-90 ribu per bulan.
Proyek perdana Elang Group di Perumahan Griya Salak Endah itu berhasil. Sebanyak 450 unit rumah terjual. Pembelinya buruh, pedagang, tukang tambal ban, dan guru. “Saya tergerak menyediakan rumah murah karena banyak orang kecil kesulitan membelinya,” ujar Elang.
Pada 2008, Elang membangun lagi Perumahan Bukit Warna Sari Endah, Cilebut, Bogor. Ekspansi Perumahan Griya Salak Endah II juga sukses. Pada 2009, Elang mengambil alih proyek Griya PGRI di Ciampea yang tak bisa diselesaikan oleh pengembang lain.
Seorang bankir di BTN Cabang Bogor yang minta namanya tak disebut mengatakan salut kepada Elang. Kendati bukan anak pejabat atau pengusaha besar, jaringan Elang luas. “Biasanya butuh tiga bulan menyelesaikan izin,” ujarnya, “tapi Elang cuma butuh sebulan.” Kele-bihan lain, Elang tak mengambil kredit konstruksi dari bank.
Menurut Elang, setelah dirinya menyelesaikan pembebasan lahan, perizinan, site plan, cut and fill, hingga meneken perjanjian dengan bank, giliran kawan dan mitranya berperan. Mereka bahu-membahu menyediakan modal pembangunan rumah. Strategi ini efektif. Empat proyek sudah memberikan keuntungan bagi para pemodalnya. Dukungan kawan-kawannya pun terus berlanjut hingga kini.
Permasalahan Elang justru di ku-liahnya. Tak seperti di Sekolah Sertifikasi Properti dan Asian Coach, skripsi di IPB terkatung-katung hingga tahun keenam. “Sudah lebih dari 25 kali ganti draf skripsi,” ujarnya. Menurut Ketua Departemen Fa-kultas Manajemen IPB Jono M. Munandar, secara akademik Elang tidak ada masalah. Indeks prestasi kumulatifnya mencapai 3 dari skala 4. Tapi kuliahnya kedodoran. “Kami mendorongnya cepat menyelesaikan kuliah agar menjadi contoh bagi mahasiswa lain.”
l l lRabu siang dua pekan lalu, Elang keluar dari ruang Sekretaris Departemen Manajemen, di lantai 3, kampus IPB Dramaga. Bercelana hitam dan berjas gelap keabu-abuan yang dipadu dasi merah, dia tersenyum cerah. Elang baru saja menyelesaikan ujian sidang skripsi. “Insya Allah bisa lulus dan ikut wisuda tahun depan.” Pria yang baru saja menikah dua bulan ini bisa berfokus mengurus bisnis pro-pertinya. Situs www.elanggumilang.com dibuatnya untuk menjaring mitra baru. Dengan penyempurnaan struktur organisasi, Elang sedang menatap tiga proyek baru di Citayam Residence; Kampung Soenda Cigudeg; dan Mekarsari Elok Re-sidence, Cileungsi.

Saat penyeleksian wirausaha mandiri 2007, saya sependapat dengan juri, Elang anak muda berintuisi bisnis baik. Perhitungan dan cara berpikir bisnisnya jelas serta berani mengambil kesempatan. Elang punya potensi menjadi wirausaha sukses.
Tapi Elang tak boleh terlena. Untuk menjadi pengusaha sukses, masih perlu waktu dan ketekunan. Wajib menjaga kepercayaan dan perlu berdisiplin mengelola usaha. Dalam kompetisi ketat, pengusaha harus berfokus dan pandai mengelola ambisi.
-Agus Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri
Kondisi bangunan sesuai dengan harga. Listrik ada. Tapi belum ada fasilitas air ledeng. Air diambil dari sumur dengan mesin pompa air pemberian Elang Group. Kekurangan perumahan ini hanyalah tak ada tempat bermain untuk anak-anak.
-Dewi Fatimah, 35 tahun, pembeli Blok F Nomor 5, Bukit Warna Sari Endah, Cilebut